Dafychi (Aurelie Moeremans) adalah gadis berkepribadian ganda, kondisi yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti teman-teman sekolahnya. Mario (Achmad Megantara) adalah pengusaha muda sukses yang galak, sikap yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti para bawahan. Keduanya bertemu, jatuh cinta, lalu saling menyembuhkan kondisi masing-masing. Gangguan psikis Dafychi si gadis bandel—yang tiap mendengar bunyi ledakan bakal berubah menjadi Dafyna si gadis manis—bisa dipahami. Sebuah trauma menekannya. Tapi Mario? Dia kaya, sukses dalam bisnis, pun tak kekurangan kasih, sebab meski eksentrik, sang ibu (Meriam Bellina) menyayanginya. Mengapa ia begitu sinis, bahkan kadang bagai tanpa perasaan?
Haruskah ada alasan di balik karakteristik Mario itu? Tidak juga. Masalahnya terletak pada konsistensi. Apa Mario seorang anti-sosial? Melihat antusiasmenya kala kembali bertemu si kawan lama, Ando (Dimaz Andrean), rasanya tidak. Walau gangguan psikologis dimiliki Dafychi, Mario justru lebih sulit dipahami. Di suatu malam, Mario dan Dafychi bertemu Alena (Dara Warganegara), mantan pacar Mario yang masih kukuh mengejarnya. Alena memamerkan pacar barunya (jelas guna memanas-manasi sang mantan), yang Mario balas dengan mengenalkan Dafychi sebagai “adiknya Ando”. Itu kebodohan yang sulit dipercaya dapat dilakukan pria dengan pengalaman pacaran tidak nihil.
Tapi Djaumil Aurora (Mata Dewa, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi), yang bertugas menulis naskah adaptasi novel berjudul sama karya Luluk HF, bisa berdalih bahwa hal di atas tidak mustahil. Ya, saya akui probabilitasnya belum mencapai 0%. Saya memilih ikut serta, pasrah mau dibawa ke mana oleh EL. Saya cuma berharap disuguhi komedi-romansa manis, menggelitik, nan bernyawa. Potensi komedinya besar. Bayangkan tokoh sekaku Mario disandingkan dengan gadis “seliar” Dafychi. Belum lagi ketika dihadapkan pada perubahan drastis pada kepribadian Dafychi-Dafyna. Beberapa comic timing agak kacau akibat penyuntingan berantakan yang didasari niatan menyusun tempo cepat, namun justru berakhir tak memberi kesempatan penonton meresapi kelucuannya.
Untung tidak seluruhnya demikian. Beberapa mampu memancing tawa, meski lebih disebabkan energi seorang Aurelie. Energi yang begitu tinggi sampai naskah, penyutradaraan Findo Purwono HW (Suster Keramas 2, Eyang Kubur), maupun akting Achmad Megantara tak mampu mengimbangi demi menciptakan dinamika yang saling mengisi. Sang aktris berdiri seorang diri menopang filmnya dari keruntuhan total. Bicara soal pasangannya, Achmad Megantara berusaha amat keras, acap kali terlampau keras malah, untuk terlihat, terdengar, dan terasa sebagai pria serius, ketus, kaku, juga keren. Segala tujuan itu tak ada yang tercapai karena penampilannya nampak dibuat-buat. Atau sosok aslinya memang demikian? Itu lebih celaka.
EL mengangkat persoalan kepribadian ganda, yang sangat jarang dijamah perfilman negeri ini. Walau agak menyayangkan, saya tidak terkejut saat mendapati filmnya urung memberi pemahaman baru terkait kondisi tersebut. Menjadi patut disayangkan tatkala keadaan unik itu gagal dimaksimalkan untuk menambah dinamika interaksi kedua tokoh utama. Paruh awalnya cukup menarik. Mario yang kerepotan menghadapi kebandelan Dafychi, kemudian disusul kemunculan Dafyna yang membuatnya semakin bingung. Memasuki paruh kedua, keliaran Dafychi justru ditekan, konflik pun bergeser ke ranah lebih generik. Apalagi kalau bukan tentang kecemburuan dan cinta segitiga.
Ada satu sub-plot mengenai Sivia (Brigitta Cynthia), sahabat Dafychi di kelas sekaligus korban tindak kekerasan oleh sang ayah. Cerita sampingan ini hanya punya dua substansi: menciptakan klimaks dan membuka jalan bagi terselesaikannya seluruh konflik. Setidaknya dari situ kita berkesempatan melihat Verdi Solaiman dalam salah satu peran antagonisnya yang paling gampang menyulut kebencian meski cuma muncul sejenak. Verdi dann Aurelie jelas layak berada di film yang jauh lebih baik. Bahkan sesungguhnya, melihat beragam potensi yang ada, EL berhak memperoleh eksekusi yang lebih mumpuni.
0 Komentar untuk "EL (2018)"